Jumat, 28 Oktober 2011

Kacau

Di pinggir Ibu Kota yang baru saja disinggahi hujan, aku termenung. Dengan beberapa musik instrumental yang membuat renungan ini terasa semakin dalam. Dan sebotol teh dingin yang sebenarnya sudah tak lagi dingin.

Beberapa mobil lewat dengan kecepatan kilat. Memercikkan air coklat kombinasi debu dan hujan yang menggenang di ruas jalan. Kaus kakiku yang tadinya polos kini menjadi bermotif tutul bening kecoklatan.

Unik.



Ah ya, Unik.
Betapa uniknya kaus kakiku kini.
Betapa uniknya jalanan Ibu Kota yang lengang ini.
Betapa uniknya hujan yang tak betah untuk tinggal berlama-lama di Jakarta.
Unik karena meski sebentar saja hujan singgah, Ibu Kota sudah terendam sekitar lima belas sentimeter.

dan Unik, untuk perenunganku yang akhirnya melaju entah kemana.

Banyak hal yang aku pelajari dari Ibu Kota.
Oh... Betapa berat beban-nya menjadi seorang Ibu.
Pasti Ia ingin mengeluh, mengerang panjang.

Sebab begitu rumitnya mengajari anak,
mendidik mereka untuk tumbuh menjadi orang yang peduli,
menjadi orang yang benar.

Ibu Kota,
Ibu hampir tak pernah lelah mencoba mengingatkan anaknya dengan air bah,
api yang menyala, atau kemiskinan yang merajalela.

Supaya anak-anak-nya peduli, akan ringkihnya kota yang kian sesak dengan gedung-gedung tinggi,
Supaya anak-anak-nya mengerti, tak baik berkorupsi dan menginjak saudaranya sendiri.

Ibu Kota.
Berapa kali Ibu katakan pada kalian untuk berhenti
Berkelahi,
Berhenti menjadi orang-orang yang tinggi hati,
menjadi pendendam dan suka iri.

Mmmh...
Unik.
Karena aku sedang membicarakan Ibu Kota seolah-olah Ia seorang  Ibu.

Unik.
karena Ibu Kota adalah
Peraduanku sebagai salah satu dari jutaan anak Ibu yang sedang Ia ajari.



Jakarta, Reda hujan di sebuah Halte di seberang Halte Busway Monas,
28 Oktober 2011, 11.06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar