Tuhan, saya titip rindu ini untuk Bapak.
Maaf, karena saya masih menangis saat hening ini meraja dan segala kenang tumpah ruah.
Tuhan, saya titip rindu ini untuk Bapak.
Maaf, karena ternyata saya masih bgitu sibuk menggelar langkah untuk hidup di dunia.
Tuhan, saya titip rindu ini untuk Bapak.
Maaf, karena Bapak harus menyaksikan saya dan diri saya yang senyatanya.
Maaf, karena kami masih mencari jejak jejak nasihat yang masih berserak.
Tuhan, saya titip rindu ini buat Bapak.
Tangis ini mengantarkan rasa kehilangan yang begitu besar.
Dan doa yang mengalir ini, semoga bisa Kau nyatakan sebagai bakti hamba padanya, Tuhan.
Allaah yaa Rabb, hamba titip rindu ini untuk Bapak, beserta semua cinta yang tak pernah terungkap.
Saya merindukannya. Sangat merindukannya.
Rumah hijau, 20 Mei 2014; 00.43am
Rabu, 19 Oktober 2016
Belum,
Sebanyak kisah ini tertulis, sebanyak-
Itu pula kubaca.
Kisah yang belum bertanda baca
Bahkan koma-mungkin,
Tak cukup sempurna
Untuk melengkapi rentetan kata
Kisahnya.
Ya, aku masih seperti dulu
Menikmati semua ramu katamu.
Karena hanya lewat ini
Tak ada tengkar yang menghalangi kita
-Bicara.
Rumah hijau, 5 Maret 2014; 6.47 pm.
_tujuhlentera
Itu pula kubaca.
Kisah yang belum bertanda baca
Bahkan koma-mungkin,
Tak cukup sempurna
Untuk melengkapi rentetan kata
Kisahnya.
Ya, aku masih seperti dulu
Menikmati semua ramu katamu.
Karena hanya lewat ini
Tak ada tengkar yang menghalangi kita
-Bicara.
Rumah hijau, 5 Maret 2014; 6.47 pm.
_tujuhlentera
Coretan buat Bapak
Tiga hari sudah berlalu
Air mata seharusnya telah kering
Namun, bau-nya yang masih menyisa di setiap helaan-
Di seluruh sudut rumah ini
Membuat bulirnya jatuh sesekali.
Dan kini Rumah pikuk dengan doa doa
-Untuk-nya.
***
Bapak,
Ini tulisan kedua numa yang lagi lagi tak bisa Numa tunjukan pada Bapak.
Tapi, dengarkan sajalah,
Numa akan menceritakannya.
Dengarkan sajalah.
***
Bapak,
Ada yang belum numa kisahkan sama Bapak
Tentang kesepian numa kala itu
Kala numa belum kenal Bapak
Kala Bapak terasa begitu jauh
Tiada pernah ada
Bapak,
Ada penggalan hidup yang belum juga numa ceritakan sama Bapak
Ketika serta merta Bapak hadir dengan kerut tua
Dan mengisi kosongnya singgasana 'Ayah' di hati numa
Bapak,
Padahal sudah puluhan tahun Numa lahir sebagai anak Bapak
Tapi, euforia seorang anak itu baru terasa kala masuk SMA
Meski begitu,
Numa bahagia.
Oya Pak,
Beberapa tahun lalu, kita pernah berdiskusi,
Tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup,
Tentang untuk apa seharusnya seseorang hidup,
dan tentang apa saja yang telah Numa jalani dalam hidup.
Masih ingatkah?
Nasihat dan prinsip itu Bapak tancapkan kuat kuat di jiwa ini.
Bapak,
Pernah juga sekali dalam seumur hidup ini bersamamu
Numa dendangkan sebuah lagu
'Titip Rindu Buat Ayah' nya Ebiet yang sendu
yang membuat air matamu luruh
Bapak,
Tahukah?
Betapa bahgianya bisa melihat air matamu jatuh
Terasa seperti cengkraman label berhati dingin-mu juga ikut luruh
Numa bahagia.
Suatu ketika,
Kita bertengkar -dan dalam sedih
numa buatkan secarik puisi maaf untukmu
Namun toh kita baik lagi karena rindu
Bukan karena puisi maaf itu.
Oya, dan sepiring Mie Aceh
Pernah membuat kita begitu dekat
Cerita dan tawa kita bagi bersama
Ingatkah?
Bapak,
Numa bahagia.
Ah, Sampailah akhirnya cerita ini harus Numa hentikan, Pak.
Karena Mama sudah memanggil, mungkin cemburu.
Pak,
Meski tulisan dan coretan ini tak pernah bisa Bapak lihat,
Tapi Numa bahagia, karena masih bisa menyoretkannya untuk Bapak,
Untuk mengenang saat saat kita bersama.
Kalau ada yang Numa sesali,
Itu adalah karena Bapak harus pergi sendiri
Begitu dingin dan sepi
Maafkan kami, Pak
Maafkan Numa, Bapak.
***
Selamat jalan Ayahanda.
Ananda akan senantiasa berdoa
Agar benderang kuburmu
Agar lapang tempat istirahatmu
Agar segala dosa terampuni dan semua amal ibadah Allah terima.
Pergilah Ayahanda,
Air mata ini bukan untuk menyesali kematianmu
Namun, untuk melepas perjalananmu kepangkuan-Nya
yang lebih menyayangimu dibanding kami.
Semoga kita dipertemukan kembali di Surga-Nya, Aamiin.
***
Numa sayang sama Bapak.
Jakarta, 21 Januari 2014; 23.49
Untuk Bapak
(Alm. H. Ramli Aminoto / 7 April 1939 - 18 Januari 2014)
Air mata seharusnya telah kering
Namun, bau-nya yang masih menyisa di setiap helaan-
Di seluruh sudut rumah ini
Membuat bulirnya jatuh sesekali.
Dan kini Rumah pikuk dengan doa doa
-Untuk-nya.
***
Bapak,
Ini tulisan kedua numa yang lagi lagi tak bisa Numa tunjukan pada Bapak.
Tapi, dengarkan sajalah,
Numa akan menceritakannya.
Dengarkan sajalah.
***
Bapak,
Ada yang belum numa kisahkan sama Bapak
Tentang kesepian numa kala itu
Kala numa belum kenal Bapak
Kala Bapak terasa begitu jauh
Tiada pernah ada
Bapak,
Ada penggalan hidup yang belum juga numa ceritakan sama Bapak
Ketika serta merta Bapak hadir dengan kerut tua
Dan mengisi kosongnya singgasana 'Ayah' di hati numa
Bapak,
Padahal sudah puluhan tahun Numa lahir sebagai anak Bapak
Tapi, euforia seorang anak itu baru terasa kala masuk SMA
Meski begitu,
Numa bahagia.
Oya Pak,
Beberapa tahun lalu, kita pernah berdiskusi,
Tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup,
Tentang untuk apa seharusnya seseorang hidup,
dan tentang apa saja yang telah Numa jalani dalam hidup.
Masih ingatkah?
Nasihat dan prinsip itu Bapak tancapkan kuat kuat di jiwa ini.
Bapak,
Pernah juga sekali dalam seumur hidup ini bersamamu
Numa dendangkan sebuah lagu
'Titip Rindu Buat Ayah' nya Ebiet yang sendu
yang membuat air matamu luruh
Bapak,
Tahukah?
Betapa bahgianya bisa melihat air matamu jatuh
Terasa seperti cengkraman label berhati dingin-mu juga ikut luruh
Numa bahagia.
Suatu ketika,
Kita bertengkar -dan dalam sedih
numa buatkan secarik puisi maaf untukmu
Namun toh kita baik lagi karena rindu
Bukan karena puisi maaf itu.
Oya, dan sepiring Mie Aceh
Pernah membuat kita begitu dekat
Cerita dan tawa kita bagi bersama
Ingatkah?
Bapak,
Numa bahagia.
Ah, Sampailah akhirnya cerita ini harus Numa hentikan, Pak.
Karena Mama sudah memanggil, mungkin cemburu.
Pak,
Meski tulisan dan coretan ini tak pernah bisa Bapak lihat,
Tapi Numa bahagia, karena masih bisa menyoretkannya untuk Bapak,
Untuk mengenang saat saat kita bersama.
Kalau ada yang Numa sesali,
Itu adalah karena Bapak harus pergi sendiri
Begitu dingin dan sepi
Maafkan kami, Pak
Maafkan Numa, Bapak.
***
Selamat jalan Ayahanda.
Ananda akan senantiasa berdoa
Agar benderang kuburmu
Agar lapang tempat istirahatmu
Agar segala dosa terampuni dan semua amal ibadah Allah terima.
Pergilah Ayahanda,
Air mata ini bukan untuk menyesali kematianmu
Namun, untuk melepas perjalananmu kepangkuan-Nya
yang lebih menyayangimu dibanding kami.
Semoga kita dipertemukan kembali di Surga-Nya, Aamiin.
***
Numa sayang sama Bapak.
Jakarta, 21 Januari 2014; 23.49
Untuk Bapak
(Alm. H. Ramli Aminoto / 7 April 1939 - 18 Januari 2014)
Langganan:
Postingan (Atom)